Inspiring points

Reflective story from journey of life , Alam terkembang jadi guru

jebakan candu konsumerisme

 consumer-59coke2.jpg

Seorang buruh pabrik yang baru menerima slip gaji, saat membuka slip gaji nya, langsung mengambil pulpen dan mencoret2 di kertas itu, di bawah angka gajinya, ia menulis deretan angka2 di bawah nya, kemudian dikurangkan. Ia ingin tahu berapa sebenarnya  sisa yang masih ia bisa terima, setelah membayar hutang2 nya.  Setelah disisihkan uang untuk membeli kebutuhan hidup sehari2 nya , dihitung lagi masih tersisa berapa uang untuk membeli keperluan2 permintaan istri dan anak2 nya. Biasanya, belum habis bulan pun gajinya sudah habis lagi, sehingga ia terpaksa berhutang yg dibayar saat gajian bulan berikutnya.  

Demikianlah  cerita yg sering saya temui saat kerja di kawasan industri pulogadung, Jakarta dulu, khususnya pada buruh pabrik yg penghasilan nya pas pasan, sesuai UMR yg ditentukan . Namun ternyata mereka yg bergaji besar pun mengalami hal yg sama, tambah besar gaji, tambah besar juga pengeluaran nya. Sisa penghasilan, selain habis untuk membeli kebutuhan pokok, tapi akhirnya banyak habis juga untuk membeli barang2 konsumsi yg bisa jadi sebenarnya tak begitu dibutuhkan nya, namun dibeli hanya karena dorongan keinginan yg tergiur oleh jebakan iklan. 

Betapa banyak orang2 bekerja dengan penghasilan yg secukupnya, tak sebanding dg keringat yg dikeluarkannya. Namun pada sisi lain kemudian ia terjebak konsumerisme banyak mengeluarkan uang membeli barang2 dan jasa yg tak begitu dibutuhkan.Karena kondisi seperti itu, ia hidup bagaikan dikejar2 kebutuhan, bagaimana memenuhi kebutuhan sehari2 mengisi hidupnya sehari2, tak sempat lagi memikirkan masa depan, apakah lagi memikirkan hal2 yg tinggi seperti makna kehidupan. 

Orang2 spt itu, bagaikan terjebak pada 2 sisi , pada satu sisi tenaga nya diperas, namun hanya mendapat imbal balik (gaji) yg tak sepantas dengan nilai produksi yg dihasilkan nya, dalam kaidah kapitalis, manusia tak lebih dari sekedar “komponen” produksi.  Pada sisi lain banyak orang terjebak pada budaya konsumerisme , ia jadi boros, banyak mengeluarkan penghasilan yg didapatnya dengan susah payah, untuk membeli barang dan jasa ( komoditi) yg sebenarnya tak begitu dibutuhkan, komoditi yg tak memberi nilai tambah signifikan untuk perbaikan taraf

hidupnya. Dalam kaidah sosiologi agama, kekayaan adalah berfungsi sosial pula, dimana sebagian kekayaan akan bergulir kembali pada orang2 miskin dalam bentuk sumbangan atau investasi usaha. Namun karena uang orang2 kaya banyak tersedot oleh konsumerisme, uang tersebut bukan mengalir pada orang2 miskin, tapi pergi lagi pada pihak2 yg memiliki kapital lebih besar lagi, para pemilik modal di negara2 kaya. 

Analogi proses yg sama terjadi pula, pada level negara, dimana negara2 miskin seperti Indonesia, dikeruk kekayaan alam nya dengan “bayaran” yg rendah, namun pada sisi lain, kita harus membeli mahal, barang2 dan jasa dari negara2 maju, seperti produk2 teknologi. Sehingga berlaku lah proses seperti lagu lama Rhoma Irama, “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. 

Dampak ikutan dari candu konsumerisme, ialah menurun nya kreatifitas, menurun nya kemampuan produksi,orang cenderung malas, ingin enaknya saja (mendingan beli saja daripada buat). Bentuk nyatanya ialah betapa banyak nya pabrik yg tutup bangkrut, tapi mall -pusat perbelanjaan bertebaran di mana mana. Darimana lagi pusat perbelanjaan tersebut mendapatkan barang nya, kalau pabrik2 pada tutup, kalau bukan dari import pada negara2 produsen/maju.

Para ekonom negara miskin yg terjebak pada logika ini, akan cenderung mengambil gampangnya saja, dalam trade-off,  “make or buy decision” , lebih baik membeli saja produk2 kebutuhan sebuah negara, daripada memproduksi sendiri di dalam negeri. Jadilah negara itu, sekedar negeri konsumen yg tak bisa berproduksi, ia jadi bagaikan negeri yg mandul. Menjual kekayaan alam nya, demi membeli produk2 import untuk memenuhi kebutuhan rakyat nya. Penduduknya yg banyak, adalah konsumen potensial yg jadi target pasar, para produsen di negara maju. Berulang lah imperialisme dalam bentuk lain, penduduk negara miskin hanya jadi sekedar kuli/pekerja pada perusahaan2 asing yang uang gajinya kemudian habis untuk mengkonsumsi barang2 dari negara maju, sebuah lingkaran setan yang memiskinkan orang2 di negeri miskin.

Banyak orang yg bagaikan terjebak dalam lingkaran hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar hidupnya ( basic need ), bahkan sampai masa tuanya, masih hidup dalam kesulitan. Sungguh kasihan sekali mereka, karena hidup ini serasa kering karena nya. Kita semua, sering menganggapnya sebagai hal yg biasa, dan menerima memang sudah demikian nasib orang2 yg hidup di negeri berkembang seperti Indonesia. Dalam segitiga kebutuhan Maslow, level yg lebih tinggi, seperti aktualisasi diri, bagaikan barang mewah jadinya, bagi orang2 yg umurnya habis memenuhi sekedar level basic need nya.

Itu semua menjadi pertanyaan yg tak terjawab, sejak belajar ilmu teknik industri sampai bertahun2 bekerja di sebuah kawasan industri, apakah memang sedemikian kering nya hidup di era industri ini ? , Padahal Tuhan menciptakan manusia, makhluk yg mulia hidup di dunia ini, dengan maksud yg mulia pula, namun betapa banyak orang yg hidup bagai dikejar kejar kebutuhan hidup yg pokok saja, sehingga tak sempat berpikir yg lebih tinggi lagi, mengenai hidup ini. 

Sampai akhirnya saya pun mulai belajar ilmu sosiologi, mulai dari kaidah2 lama sosiologi spt karl marx sampai teori2 baru post modern dari Jean Baudrillard, yg bisa sedikit memberikan sedikit titik terang mengenai hal tsb. Pada masa2 industrialisasi di Eropa 2 abad lampau. Karl Marx menyampaikan tesisnya mengenai betapa telah terjadi ketidak adilan antara nilai kerja yg diberikan seorang pekerja dengan nilai keuntungan yg dihasilkan dari kerja tersebut ( produksi ) yg diraih oleh pemilik modal (kapitalis).

Logika kapitalis bahwa keuntungan harus diraih sebesar mungkin dengan menekan biaya ( termasuk upah buruh ) serendah mungkin, telah melestarikan kaidah upah buruh rendah tersebut, khususnya di negara2 berkembang. Tapi di negara2 Eropa di mana teori tersebut berawal, saat ini kondisinya bahkan telah membaik, pekerja telah mendapat upah yg layak. 

Pada akhir abad 20, Jean Baudrillard, sosiolog Perancis, mengungkapkan sebuah fenomena baru kehidupan modern, yaitu terbentuknya “masyarakat konsumsi”, dalam bukunya ; La Societe de consummatie ( masyarakat pembelanja ).  Komunitas (masyarakat)  konsumsi adalah masyarakat yang secara tak sadar telah menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan dengan hasrat yang kuat akan materi, selalu ingin berbelanja. Dalam masyarakat konsumsi  persepsi terhadap barang (komoditi) telah berubah dari sekedar kebutuhan yang memiliki nilai tukar dan nilai guna ,berubah menjadi komoditas citra/gengsi, orang berbelanja selain karena ingin meraih kepuasan, tapi  juga karena mengharapkan citra tersendiri karena telah memiliki barang tsb.

Dengan demikian konsumsi, tidak dapat dipahami sebagai konsumsi nilai guna, tetapi terutama sebagai konsumsi citra / image. Dalam masyarakat konsumen hubungan manusia ditransformasikan dalam hubungan objek yang dikontrol oleh pertanda atau citra. Perbedaan status dalam masyarakat dimaknai sebagai perbedaan konsumsi citra , sehingga kekayaan diukur dari tingkatan citra  yang dikonsumsi.

Mengkonsumsi objek tertentu menandakan kita berbeda atau dianggap sama dengan kelompok sosial tertentu, seorang yg membeli jam mewah Rolex status sosialnya lebih tinggi daripada mereka yg hanya bisa beli jam tangan murahan misalnya, tak peduli apakah ia membeli jam tersebut dari hasil korupsinya , jadi citra  telah mengambil alih fungsi kontrol terhadap individu. Tingkat konsumsi telah menjadi sebuah semacam  pertanda kelas priyayi masyarakat modern. 

Orang2 yg ingin meningkat status kasta sosialnya, akhirnya berusaha segala cara untuk mengkonsumsi citra tersebut, membeli barang2 mewah, produk2 yg bermerek, walau dengan berhutang sekalipun. Institusi modern seperti bank akan sangat senang memberikan kredit konsumsi, daripada kredit usaha misalnya. Kebiasaan berhutang ( kredit ) dan sikap konsumerisme adalah turunan2 dari pola ekonomi kapitalis. 

Disinilah jebakan itu berlaku pula, betapa konsumerisme akan memberikan warna pula terhadap tujuan hidup seorang manusia untuk meraih kemuliaan hidup dengan materi akan menenggelamkan nya dalam kubangan materialisme. Moralitas agama sebagai tuntunan bagaimana mencapai kemuliaan hidup telah dikesampingkan. Karena tingkat kemulian seseorang , dinilai dari tingkat konsumsi nya, materi apa yg dikenakan nya ; jam tangan rolex, mobil jaguar, wisata keliling dunia adalah contoh simbol “orang yg mulia”, dalam kaidah masyarakat konsumsi. 

Saat ini kita bisa melihat, betapa, pusat perbelanjaan , mall2, telah menjadi bagaikan pusat budaya, bagaikan “tempat ibadah”, betapa ingin nya orang pergi kesana, betapa seringnya orang pergi ke sana, walau hanya sekedar jalan2, betapa orang2 serasa tak lengkap hidupnya kalau tak pergi kesana. kebahagian pun di ukur dengan kepemilikan atas materi, orang yang paling royal dalam berbelanja dianggap anggota masyarakat yg hebat, “pemboros agung” bukanlah sebuah sebutan yg berkonotasi negative. 

Konsumerisme adalah juga salah satu mata rantai pola masyarakat kapitalis, yg bertalian dg hedonisme dan individualism. Kapitalis dengan logika maksimasi profit nya, akan sangat senang sekali bilamana pusat2 produksi, menghasilkan barang2 yg selalu dibeli konsumen, apakah produk tersebut benar2 berguna atau tidak berguna, kapitalis tak mau tahu. 

Bahkan saking canggihnya proses bisnis, ilmu marketing , advertising telah berkembang lebih jauh, bagaimana cara nya agar masyarakat membeli sebanyak mungkin produknya. Ilmu advertising dengan pendekatan psikologis, telah berusaha lebih jauh masuk ke dalam kejiwaan seorang manusia, agar selalu timbul keinginan untuk mendapatkan produk yg dihasilkan nya.

Hal itu semua telah menggeser paradigma bahwa orang membeli sesuatu untuk memenuhi kebutuhan nya, menjadi membeli karena keinginan. Dorongan karena kebutuhan akan berhenti saat kebutuhan nya terpenuhi, namun dorongan karena keinginan adalah tanpa batas. Permintaan tanpa batas, akan sangat menguntungkan bagi para produsen, karena produk ( materi & jasa ) yg dihasilkan nya selalu habis terbeli di pasaran. Bagi pemilik modal artinya ada jaminan pasar, bahwa produk yg dihasilkan akan selalu laku yg ujung2 nya ialah tingkat keuntungan makin tinggi. 

Disinilah telah berubah logika lama karl Marx, karena fungsi produksi telah bergeser dari memenuhi kebutuhan, telah berubah menjadi lebih jauh bahwa produsen bisa mengarahkan / mendikte masyarakat pembeli mengenai apa yg mereka konsumsi. Proses mendikte tersebut antara lain terlihat pada aktivitas semisal Advertising / promosi iklan. Bahkan telah berlangsung sejak seorang bayi lahir. Saat seorang bayi lahir, pada beberapa klinik sang bayi langsung diberi susu formula pada mulutnya, baru kemudian diserahkan pada ibunya untuk disusui. Anak2 dan remaja banyak menghabiskan waktunya menonton TV, dimana sebagian besar isi program nya adalah iklan2. Pusat2 perbelanjaan adalah salah satu magnet besar, dimana promosi dan iklan begitu menyergap kita. 

Telah terjadi juga pergeseran bahwa orang tak hanya membeli berdasar daya guna sebuah produk, tapi lebih pada citra/image/gengsi yg dibawa oleh produk tersebut. Secara esensi tak ada bedanya melihat waktu menggunakan arloji Seiko dibanding pakai jam tangan mewah Rolex misalnya, begitu pula menghilangkan haus dengan meminum secangkir kopi tubruk di pinggir jalan dengan secangkir kopi di café starbuck misalnya. Namun pembeli mau mengeluarkan uang lebih banyak, karena yg dicari ialah citra dari produk tersebut. 

Salah satu contoh dari bagaimana sebuah proses konsumsi yg sangat ekstrim dimana, keinginan untuk membeli suatu produk sudah tak bisa dikendalikan lagi, karena telah tertanam kuat pada alam bawah sadar. Keinginan merokok atau mengkonsumsi narkoba, adalah contohnya, sebenarnya secara fisik tubuhnya tak membutuhkan barang2 tersebut, tapi dorongan bawah sadar yg kuatlah yg membuat ia ketagihan dan selalu ingin menggunakan barang2 tsb. Sebagai contoh lain, bandar narkoba sebagai produsen, adalah sangat diuntungkan, karena produknya selalu dicari orang berapapun harga nya, secara bisnis sangat menguntungkan. 

Mungkin contoh konsumsi narkoba adalah terlalu ekstrim, tapi sebenarnya hal yg sama namun dengan kadar yg jauh lebih rendah bisa terjadi pada konsumsi produk2 lain nya. Dimana rayuan konsumerisme, begitu telah merasuk ke dalam alam bawah sadar kita. Ilmu marketing dan advertisement, telah begitu majunya, sehingga bumbu2 ilmu psikologi telah begitu mewarnai iklan2 yg begitu menghanyutkan, namun tak disadari orang banyak, memang mereka tak perlu sadar,yg penting bagi produsen barang mereka laku. 

Ada beberapa buah buku telah ditulis berkaitan dengan dampak konsumerisme tersebut. Terrence Mn Nally, dalam buku nya Born to Shop, how marketers brainwash babies, menyatakan bahwa betapa para penjual telah menjadikan anak kecil dan remaja sebagai target pasar untuk membeli  produk2 yg bisa jadi tak begitu dibutuhkan nya. “ Marketers are targeting kids at disturbingly young ages, compromising the nation’s health, creativity and democracy”. Ada kabar lelaki itu telah meninggal seminggu yang lalu; konon yang terakhir diucapkannya sebelum “Allahu akbar” adalah “Hidup Iklan!”.  Sejak itu istrinya gemar duduk di depan televisi, bersama anak-anaknya, menebak-nebak iklan mana gerangan yang menurut dokter itu telah menyebabkannya begitu bersemangat sehingga jantung suaminya mendadak berhenti.

Benjamin Barber, dalam bukunya, Consumed: how markets corrupt children, infantilise adults and swallow citizens whole.  Menyatakan betapa, kebutuhan semu, pseudo needs, telah merasuk ke dalam jiwa kita, sehingga banyak orang membeli barang hanya karena keinginan bukan kebutuhan sebenarnya.

Untuk menggambarkan betapa telah merasuknya iklan sebagai salah satu bentuk rayuan konsumerisme pada alam bawah sadar manusia, penyair Joko Sapardi Darmono, membuat syair yg mengenai sebuah keluarga sampai setengah mati, berikut ceritanya ;

Ia penggemar berat iklan. “Iklan itu sebenar-benar hiburan,” kata lelaki itu. “Siaran berita dan cerita itu sekedar selingan.” Ia tahan seharian di depan televisi. Istrinya suka menyedikan kopi dan kadang-kadang kacang atau kentang goreng untuk menemaninya mengunyah iklan.

Anak perempuannya suka menatapnya aneh jika ia menirukan lagu iklan Supermi – Kepalanya bergoyang-goyang dan matanya berbinar-binar. Anak lelakinya sering memandangnya curiga jika ia tertawa melihat badut itu mengiklankan sepatu sandal – kakinya digerak-gerakkannya ke kanan-kiri. Dan istrinya suka tidak paham jika ia mendadak terbahak-bahak ketika menyaksikan iklan tentang kepedulian sosial itu – dua tangannya terkepal dan dihentak-hentakkannya. 

6 comments on “jebakan candu konsumerisme

  1. toni
    01/03/2008

    tragis… kang.
    Dalam salah satu buku yang saya baca, digambarkan bahwa seringkali kita sebagai pekerja yang bekerja satu bulan penuh, adalah bukan orang pertama yang menikmati hasil dari segala jerih payah kita selama satu bulan kita bekerja tersebut. Kita selalu hanya menikmati sekian persen dari sisa pendapatan kita. Lebih banyak buat orang lain atau hal yang tidak perlu seperti contoh dalam tulisan kang Hendra, konsumtif tidak karuan.
    Saya berharap hidup kita tidak berjalan dan berakhir seperti itu. Jika bisa seperti anekdot “Muda hura-hura, tua kaya raya, mati masuk surga”. Ga gampang, memang!
    Semoga dengan semangat juang yang kita punya, kita bisa mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Tentu dengan perencanaan hidup yang baik pula, berhikmat dalam mengambil keputusan sehingga kita tidak salah melangkah ya kang..?

  2. hdmessa
    02/03/2008

    thanks Toni, comment nya,

    betul sekali,
    dengan perencanaan dan visi hidup yg jelas,
    kita tak mudah terombang ambing dalam kehidupan ini

    salam
    HM

  3. Qinimain Zain
    03/07/2008

    (Dikutip dari: Harian RADAR Banjarmasin, Senin, 16 Juni 2008)

    Strategi Ilmu Sosial Milenium III
    (Kadaluarsa Ilmu: Re-Imagining Sociology)
    Oleh: Qinimain Zain

    FEELING IS BELIEVING. MULANYA teori baru diserang dikatakan tidak masuk akal. Kemudian teori tersebut itu diakui benar, tetapi dianggap remeh. Akhirnya, ketika teori itu sangat penting, para penentang akan segera mengklaim merekalah yang menemukannya (William James).

    KETIKA Dr Heidi Prozesky – sekretaris South African Sociological Association (SASA) meminta TOTAL QINIMAIN ZAIN (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000) sebagai materi sesi Higher Education and Science Studies pada Konferensi SASA medio 2008 ini, saya tidak terkejut. Paradigma baru The (R)Evolution of Social Science – The New Paradigm Scientific System of Science ini, memang sudah tersebar pada ribuan ilmuwan pada banyak universitas besar di benua Amerika, Afrika, Asia, Eropa dan Australia. Pembicaraan dan pengakuan pentingnya penemuan juga hangat dan mengalir dari mana-mana.

    Contoh, dari sekian banyak masalah telah dipecahkan paradigma ini adalah menjawab debat sengit hingga kini keraguan ilmuwan sosial akan cabang sosiologi sebagai ilmu pengetahuan di berbagai belahan dunia. Tanggal 2-5 Desember 2008 nanti, akan digelar The Annual Conference of The Australian Sociological Association (TASA) 2008 di Australia, dengan tema Re-imagining Sociology. (Judul tema Re-Imagining Sociology, diambil dari judul yang sama buku Steve Fuller (2004), seorang profesor sosiologi dari Universitas Warwick, Inggris).

    Lalu, apa bukti (dan pemecahan re-imagining sociology dalam paradigma TQZ) masalah sosiologi sampai ilmuwan sosial sendiri meragukannya?

    PARADIGMA (ilmu) sosial masih dalam tahap pre-paradigmatik, sebab pengetahuan mengenai manusia tidaklah semudah dalam ilmu alam (Thomas S. Kuhn).

    Ada cara sederhana untuk menjadi ilmuwan menemukan (masalah) penemuan (dan memecahkannya) di bidang apa pun, yaitu meneliti seluruh informasi yang ada di bidang itu sebelumnya dari lama hingga terbaru. (Sebuah cara yang mudah tetapi sangat susah bagi mereka yang tidak berminat atau malas). Mengenai informasi dari buku, menurut Isadore Gilbert Mudge, dari penggunaan buku dibagi dua, yaitu buku dimaksudkan untuk dibaca seluruhnya guna keterangan, dan buku yang dimaksudkan untuk ditengok atau dirujuk guna suatu butir keterangan pasti. Keduanya punya kelebihan masing-masing. Yang pertama luas menyeluruh, yang kedua dalam terbatas hal tertentu.

    Berkaitan menonjolkan kelebihan pertama, Dadang Supardan (2008: 3-4), menyusun buku Pengantar Ilmu Sosial (Sebuah Kajian Pendekatan Struktural), cetakan pertama, Januari 2008, yang mendapat inspirasi pemikiran ilmuwan sosial Jerome S. Bruner, bahwa mata pelajaran apa pun lebih mudah diajarkan (dan dipahami) secara efektif bila struktur (fakta, konsep, generalisasi, dan teori) disiplin ilmu seluruhnya dipelajari lebih dahulu, yaitu lebih komprehensif, mudah mengingat, mengajarkan, dan mengembangkannya.

    KLAIM sah paling umum dan efektif mengajukan paradigma baru adalah memecahkan masalah yang menyebabkan paradigma lama mengalami krisis (Thomas S. Kuhn).

    Lalu, apa hubungannya buku pengangan universitas yang baik ini dengan debat keraguan sosiologi?

    Dadang Supardan (2008:98), mengutip David Popenoe, menjelaskan jika ilmu sosiologi ingin tetap merupakan sebuah ilmu pengetahuan maka harus merupakan suatu ilmu pengetahuan yang jelas nyata (obvious). Dadang mengungkap, ahli sosiologi sering menyatakan bahwa mereka banyak menghabiskan uang untuk menemukan apa yang sebenarnya hampir semua orang telah mengetahuinya. Sosiologi dihadapkan dengan dunia masyarakat yang sebenarnya tidak begitu aneh, di mana orang-orang yang secara umum sudah akrab ataupun mengenal konsep-konsep yang diperkenalkan dalam bidang sosiologi. Sebaliknya, sebagai pembanding, dalam pokok kajian pada kelompok ilmu kealaman adalah sering berada di luar dunia dari pengalaman sehari-hari. Dalam menjawab permasalahan ilmu pengetahuan alam, temuan kajiannya memberikan ungkapan dalam bahasa dan simbol-simbol di mana kebanyakan orang hampir tidak memahaminya atau benar-benar dibawa dalam pengenalan konsep yang benar-benar baru.

    Lalu, inikah bukti kekurangan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan? Ya (salah satunya).

    Sebenarnya sangat jelas lagi, masalah sosiologi ini sudah diungkap Dadang Supardan (2008: 4) sendiri di awal dengan mengutip Bruner pula. Menurut Bruner, terdapat tiga tahapan berpikir seorang pembelajar, yaitu enactive, iconic dan symbolic. Enactive terfokus pada ingatan, lalu iconic pola pikir tidak terbatas pada ruang dan waktu, tetapi seluruh informasi tertangkap karena adanya stimulan, kemudian tingkat symbolic, dapat dianalogikan masa operasi formal menurut Piaget. Dalam tahapan terakhir, siswa (dan siapapun – QZ) sudah mampu berpikir abstrak secara keilmuan pada tingkat yang dapat diandalkan, mengingat sudah mampu berpikir analisis, sintesis dan evaluatif.

    MENOLAK satu paradigma tanpa sekaligus menggantikannya dengan yang lain adalah menolak ilmu pengetahuan itu sendiri (Thomas S. Kuhn).

    Artinya, sosiologi yang dipelajari di sekolah dan universitas tanpa perangkat simbolik selama ini kadaluarsa dan hanya dapat disebut pengetahuan saja. Dan, untuk membuktikan kekurangan sosiologi tak perlu jauh-jauh (meski boleh agar nampak jelas) dengan ilmu kealaman, cukup dengan ilmu pengetahuan mantap masih golongan (ilmu) pengetahuan sosial juga yaitu ilmu ekonomi. Bukankah ilmu ekonomi dianggap ilmu (ratunya golongan ini) karena mencapai tingkat analogi simbolik bahasa ekonomi? (Karena itulah definisi ilmu pengetahuan dalam paradigma baru TQZ bukan kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur (sistematis), tetapi kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur (sistematis), membentuk kaitan terpadu dari kode (symbolic), satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu. Untuk ilmu pengetahuan sosial paradigma milenium ketiga telah saya tetapkan International Code of Nomenclature TQO Employee fungsinya Operation dengan kode O, TQC Supervisor (Control-C), TQS Manager (Service – S), TQI Senior Manager (Information – I) dan Director (Touch – T)).

    Jadi, para ilmuwan sosial, sebenarnya sudah tahu sosiologi yang dipegang selama ini tidak layak disebut sebagai ilmu pengetahuan, meski belum tahu pemecahannya. Lantas, apa pentingnya solusi re-imagining sociology sekarang? Sangat pasti, salah satu cara memahami masyarakat untuk mengatasi krisis dunia (negara, bangsa, daerah, organisasi, usaha dan pribadi) yang semakin kompleks dan buntu selama ini. Dan, bagi lembaga penelitian dan pendidikan baik organisasi dan pribadi harus proaktif berbenah. Adalah fatal dan picik mengajarkan (ilmu) pengetahuan yang (kalau) sudah diketahui kadaluarsa dan salah, di berbagai universitas dan sekolah. Dunia (di berbagai belahan) sudah berubah.

    KALAU teori saya terbukti benar, Jerman akan mengakui saya sebagai seorang Jerman dan Prancis menyatakan saya sebagai warga negara dunia. Tetapi kalau salah, Prancis akan menyebut saya seorang Jerman, dan Jerman menyatakan saya seorang Yahudi (Albert Einstein).

    BAGAIMANA strategi Anda?

    *) Qinimain Zain – Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru – Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)

  4. hdmessa
    03/07/2008

    terima kasih sharing nya,
    pak Zain

    salam

  5. tulisan yang bagus. terima kasih mas. saya setuju sekali dengan konsep konsumsi bukan lagi hanya melulu pada fungsi, tapi sekarang sudah bergeser pada citra. termasuk fenomena sangat mudahnya kini mendapatkan mobil atau motor baru dengan cara kredit.

  6. hdmessa
    04/10/2009

    terima kasih Dimas,

    betul, memang spt itulah fenomena yg berlangsung…

    salam

Leave a reply to Dimas Prasetyo M.Dimas Prasetyo M. Cancel reply

Information

This entry was posted on 25/02/2008 by in Essay - concept.