Inspiring points

Reflective story from journey of life , Alam terkembang jadi guru

Pengembaraan jiwa manusia

Tulisan mas Hari Tjahjono, senior di kampus

Kemarin Forum teman2 kuliah seangkatan ITB 84, ngadain acara kumpul2 online, dan salah satu acaranya adalah sharing seorang sahabat, kang Dicky Saromi, dengan tema: Manusia Makhluk Pengembara.

Kang Dicky mengingatkan kita semua bahwa kita ini sebelum lahir ke dunia mengadakan perjanjian dengan Tuhan. Jadi sebelum diturunkan ke alam dunia, setiap manusia, apapun agamanya, punya perjanjian dengan Tuhan. Semua agama? Mestinya iya. Kan sebelum lahir ke dunia kita ini belum menganut agama tertentu apakah Islam, Kristen, Hindu, Budha dst? Yang Islam belum mengucapkan kalimat syahadat, yang Kristen belum dibaptis dsb.

Yang menggelitik saya, apakah isi perjanjian itu? Apakah berlaku umum atau spesifik untuk setiap individu?

Saya teringat ceramah dari Abah Rama, penemu metoda talent mapping. Menurut beliau, manusia dilahirkan ke dunia itu membawa bakatnya masing-masing yang spesifik. Tidak ada orang yang sama, bahkan pun mereka yang kembar… Menurut Abah Rama, bakat spesifik itu menunjukkan misi apa yang Tuhan berikan pada setiap individu ketika mereka hidup di dunia sebagai khalifah, utusan Tuhan, di muka bumi.

Jangan-jangan bakat yang disampaikan Abah Rama itu terkait dengan perjanjian yang disebutkan kang Dicky tersebut. Sebelum setiap individu lahir ke dunia, mereka berjanji menerima amanah/misi yang diberikan Tuhan. Dan untuk melaksanakan misi tersebut, Tuhan memberi kita bakat yang unik sesuai dengan misi kita. Bakat tersebut sebagai perwujudan kasih sayang Tuhan kepada setiap individu, supaya tugasnya di dunia dapat dijalankan dengan lebih mudah.

Dan karena kita tidak ingat isi perjanjian kita sebelum lahir, barangkali cara terbaik untuk mengingat perjanjian tersebut adalah dengan memahami bakat kita.

Atau ada cara yang lain untuk mengingat isi perjanjian tersebut?

Minggu, 19 Juli 2020. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Salah seorang sahabat saya, mas Ari Diantoro, meninggal dunia dengan tenang, untuk melanjutkan pengembaraannya ke alam berikutnya yaitu alam barzakh. Lima hari sebelumnya, tanggal 14 Juli 2020, mas Ari menulis panjang lebar di sebuah WA Group tentang jiwa dan ruh. Mas Ari seperti ingin memberikan pesan terakhirnya tentang manusia pengembara yang sedang kami diskusikan. Berikut ini cuplikan dari tulisan panjang mas Ari tepat 5 hari sebelum meninggal dunia tersebut:

Ruh adalah daya hidup. Dan jika diibaratkan ruh adalah api, cahaya apinya saja pun sudah menghidupkan jasad, alih-alih apinya. Ruh berasal dari Allah, dan pasti akan kembali pada-Nya. Dengan demikian, ungkapan “semoga arwahnya (arwah: jamak dari “ruh”) diterima Allah” ketika seseorang meninggal dunia adalah tidak tepat, sebab ruh berasal dari Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya. Yang seharusnya didoakan ketika meninggal adalah jiwa (nafs), bukan ruh, karena jiwa lah yang akan menempuh perjalanan berikutnya, dan harus mempertanggungjawabkan semua yang dia lakukan di dunia._

Dari cuplikan di atas, mas Ari mengingatkan kita bahwa meninggalnya seseorang tidak berarti perjalanannya telah selesai. Mati hanyalah sebuah milestone perjalanan manusia ke alam berikutnya. Sebelumnya manusia telah beberapa kali berpindah alam, mulai dari alam alastu, kemudian berpindah ke alam rahim, lalu berpindah lagi ke alam dunia. Setelah meninggal dunia, manusia pun masih akan berpindah lagi ke alam-alam berikutnya. Menurut Ibnu Arabi, setelah alam barzakh, kelak kita akan berpindah lagi ke alam makhsyar, alam surga-neraka, menuju perjalanan akhir di alam al katsib.

Siapa sebenarnya yang berpindah-pindah alam itu? Apakah raga yang selama ini menjadi fokus perhatian utama selama kita hidup di dunia ini? Menurut mas Ari bukan. Dalam tulisan sebelumnya, mas Ari menjelaskan bahwa manusia itu terdiri dari jasad (raga), jiwa (nafs) dan ruh. Raga hanya diperlukan saat kita hidup di dunia. Karena raga hanyalah media untuk melaksanakan misi Tuhan kepada kita sebagai khalifah di muka bumi. Ketika tugas kita di dunia sudah selesai, raga pun akan musnah. Yang tinggal adalah jiwa, yang masih akan mengembara ke alam berikutnya.

Dengan demikian, mestinya kita memberikan perhatian jauh lebih banyak kepada jiwa dibanding raga kita. Karena jiwalah yang abadi, yang akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita selama berkiprah di dunia sebagai khalifah di muka bumi. Jiwalah yang harus bertanggung jawab, apakah janji yang telah kita ikrarkan di hadapan Tuhan sebelum lahir ke dunia ini telah kita tunaikan dengan baik.

Pertanyaannya, sudahkah kita memberi perhatian lebih pada jiwa kita? Dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya, WR Supratman meminta kita untuk memberi perhatian yang sama pentingnya kepada jiwa dan raga: Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya…

Sudahkah kita membangunkan jiwa kita? Bagaimana caranya ?

Ketika sedang menghadiri acara wisuda anak di Berlin, Jerman, saya menerima pesan WA dari seorang sahabat untuk berziarah kubur di makam Annemarie Schimmel. Mumpung lagi di Jerman, saya disarankan untuk berziarah ke makam seorang tokoh besar yang banyak mengkaji sufisme Islam.

Sempat bingung mendapat saran demikian, akhirnya saya pun berziarah ke makam Annemarie Schimmel di kota Bonn. Ternyata itu momen penting dalam hidup saya.

Di nisan makam tersebut tertulis kata bijak dari Imam Ali bin Abi Talib dalam bahasa Arab dan Jerman. Terjemahan bebasnya kira-kira begini: Ketika hidup (di dunia) banyak orang tertidur. Mereka baru terbangun ketika meninggal… Saya tercenung sangat lama untuk memahami kalimat yang terkesan kontradiktif itu. Baru terbangun ketika meninggal? Maksudnya apa sih?

Saya pun mulai bertanya kesana kemari tentang kalimat tersebut. Ternyata kalimat itu berkaitan dengan apa yang disampaikan sahabat saya Dicky Saromi dan almarhum Ari Diantoro. Bahwa manusia adalah makhluk pengembara. Jiwa manusia akan terus mengembara, berpindah dari alam yang satu ke alam berikutnya. Raga boleh musnah, tapi jiwa akan abadi dan mengembara untuk memenuhi janji yang diucapkannya di hadapan Tuhan sebelum terlahir ke dunia. Boleh saja jiwa itu tertidur selama di dunia karena berbagai sebab, tapi sebagai makhluk pengembara dia harus bangun melanjutkan perjalanan ketika meninggal dunia.

Terus kalau selama di dunia jiwa tersebut tertidur pulas, apa dong bekal yang dibawanya untuk melanjutkan perjalanan? Kalau sudah meninggal, bukankah sudah terlambat untuk mencari bekal? Duh… Gimana dong?

Walaupun sering menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengulang-ulang kalimat “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”, jujur saya hampir tidak pernah berpikir mendalam tentang keberadaan jiwa ini. Kemanakah jiwa saya selama ini? Bagaimana merasakan keberadaannya? Jangan-jangan jiwa saya pun sedang tertidur pulas…hiks…

Bagaimana caranya membangunkan jiwa saya ketika masih hidup di dunia?

Walaupun juga sangat terlambat, sejak 3 tahun yang lalu saya mulai membangunkan badan saya, membangunkan raga saya. Caranya? Dengan berolah raga. Berkat latihan yang tekun dan disiplin, insya Allah raga saya mulai bangun. Raga yang dulu diajak berlari 100 meter saja sudah sangat kelelahan, kini raga saya sudah sanggup diajak lari ratusan kali lebih jauh. Pikiran pun menyambut dengan gembira, sebagai tanda bahwa raga saya menerima ajakan berolah raga dengan baik.

Kini saatnya saya melangkah lebih jauh. Sudah saatnya saya harus membangunkan jiwa saya, walau terlambat, sesuai anjuran WR Supratman: bangunlah jiwanya, bangunlah badannya…

Leave a comment

Information

This entry was posted on 01/08/2020 by in Blogroll.