Inspiring points

Reflective story from journey of life , Alam terkembang jadi guru

Jalan kehidupan berliku, kelok 44

kelok 44b

Dalam perjalanan pendakian gunung, setelah perjalanan mendaki yang melelahkan, pendaki gunung biasanya beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Biasanya pendaki gunung akan beristirahat di ketinggian bukit sambil memandang ke bawah, melihat lagi jalanan berliku yang dilewatinya tadi, sambil menghela nafas panjang, ia membayangkan betapa beratnya perjuangan melewati jalur pendakian tersebut. Analogi yang sama, bisa kita asumsikan saat sedang menapaki jalan kehidupan ini, sekali waktu kita perlu istirahat sejenak, merenungi jalan hidup mas lalu yang telah ditempuh, betapa beratnya lika liku cerita kehidupan, suka dan duka silih berganti.

Kalau kita melihat jauh ke belakang sana, sejak awal perjalanan hidup ini, betapa panjangnya jalan hidup yang telah dilalui, sejak masa kecil, remaja, muda, dewasa sampai di masa tua, bagai memutar ulang film lama. Coba bayangkan cerita hidup anda sendiri sejak masa kecil sampai saat ini. Hangatnya dekapan sayang ibunda tercinta, gembira & cerianya masa kecil, bermain2 dengan teman sebaya, saat pertama sekali masuk sekolah dihantar orang tua, kenakalan di masa remaja, indahnya masa muda bercampur pedihnya rasa putus cinta, sampai cerita perjuangan hidup di masa dewasa, stress di dunia kerja. Pengalaman2 hidup yg berkesan tersebut, baik suka ataupun duka,  akan tertanam kuat dalam pikiran alam bawah sadar kita, suatu saat akan bisa terungkap kembali, pengalaman hidup yang biasa2 saja tak berbekas, akan mudah terlupakan.

Moment penting yang akan sangat terkesan, antara lain ialah keberhasilan yang memberikan dampak yang besar untuk jalan hidup selanjutnya. Sebagian contoh antara lain : pertama kali bisa naik sepeda di masa kecil, lulus ujian di sekolah, saat pernikahan, diterima kerja, kelahiran anak  dll. Namun ada juga moment2 kesedihan yang begitu mendalam dan susah untuk terlupakan. Suka dan duka mewarnai jalan kehidupan ini.

Bagaikan sedang naik kendaraan, sekali waktu kita perlu melihat kaca spion ke belakang  agar selamat berjalan ke depan, begitulah pula dalam kehidupan ini, sekali waktu kita perlu menengok, merenungi masa lalu, belajar dari masa lalu untuk kebaikan di masa depan. Namun janganlah sampai pula terbenam dalam kesedihan masa lalu, karena akan hanya menghambat kita untuk menatap masa depan. Janganlah sampai pula terperangkap dalam nostalgia indahnya kenangan masa lalu yang membuat kita terbuai dalam impian dan melupakan realita saat ini, sehingga terlena untuk melangkah ke masa depan.

Melanjutkan cerita pendaki gunung tadi, setelah melepas lelah sejenak dan menengok ke bawah perjuangan pendakian nya tadi, ia telah memulihkan tenaga dan semangatnya untuk melanjutkan jalan pendakian nya. Dengan mengambil pelajaran dari masa lalu, kita bisa melangkah lebih baik ke masa depan dengan lebih baik.

Suka dan duka manusia dalam jalan kehidupan, dengan segala permasalahan nya, bisa pula dianalogikan saat kita berkendaraan melalui jalan berliku di pegunungan, ada bahaya mengintai di setiap tikungan, ada kepuasan batin saat berhasil melewati tikungan atau jalan mendaki menuju jalanan yg lurus yang datar.

Salah satu pengalaman melewati jalan berliku yang sangat terkenang, ialah saat melewati jalur jalan berliku dan mendaki di daerah Danau Maninjau menuju kota Bukittinggi di Sumatera Barat, dikenal dengan nama jalan kelok 44, karena sepanjang jalan ini ada 44 tikungan tajam di jalur jalan  yang meliak liuk bagai ular, menyusuri pebukitan seputaran  danau Maninjau, jalanan yg berat ditempuh dan beresiko, namun  indah sekali pemandangan nya. Jalur jalan ini adalah salah jalur jalan kelokan di yang terkenal di dataran tinggi Sumatera Barat, jalur lain nya ialah kelok 9 di jalur jalan melintasi perbatasan Sumbar -Riau , lintasan jalan dari Bukittinggi ke Pekanbaru yang memintas lembah dalam diantara pegunungan. Dinamai kelok 9, karena ada sembilan kelokan tajam di jalur jalan tersebut.

Di jalur jalan kelok 44 tersebut, pada tempat2 tertentu ada tempat yg agak leluasa biasanya orang membuat tempat pemberhentian, sekedar warung kopi untuk beristirahat. Biasanya pemandangan nya pun indah , menengok ke belakang, kita bisa melihat lagi betapa berlikunya jalanan yang telah dilewati tadi, betapa berat dan beresikonya menempuh setiap jalan belokan tajam. Hampir sama dengan analogi perenungan pendaki gunung tadi, saat berhenti di jalur kelok 44 tersebut, kita bagaikan mengenang masa lalu kehidupan kita yg penuh lika liku perjuangan suka dan duka. Sekedar istirahat sejenak melihat indahnya alam dan jalanan berliku, ditambah makan,  minum secukupnya, setelahnya badan & pikiran ini akan segar dan kuat kembali untuk melanjutkan perjalanan.

Kelok 44-fa

Begitulah pula hikmah perenungan sejenak dalam kehidupan ini, kita akan mendapatkan kesegaran, tenaga baru dan pandangan yg lebih jelas untuk melanjutkan perjalanan hidup ini. Karena beratnya perjuangan hidup, banyak permasalahan yang menimpa akan membebani pikiran dan perasaan, rasa lelah batin, jenuh, stress, akan menghambat kita untuk menatap jalan ke depan.

Jalanan yg berliku memberikan tantangan yg berat, namun hanya dari jalanan berliku dan mendaki seperti itulah akan dihasilkan pengemudi yang handal dan ahli, dibanding pengemudi yg terbiasa melalui jalanan lurus dan datar, seperti jalanan di negeri gurun pasir. Analoginya, orang yang terbiasa menghadapi berbagai permasalahan kehidupan, akan lebih tegar & kuat menghadapi kehidupan ini, dibanding orang yang terbiasa hidup enak sedikit tantangan.

Kebiasaan berjalan ke alam terbuka, mendaki gunung, berlanjut pula, saat saya hijrah ke negeri gurun pasir Abu Dhabi ini. Pebukitan di gurun pasir berbeda dg pebukitan di Indonesia, di gurun pasir, pebukitan terbentuk oleh tumpukan pasir halus yang terbawa kesana oleh hembusan angin dalam jangka waktu yg lama. Pemandangan nya pun berbeda, kalau di Indonesia lereng gunung bertatahkan bukit lembah dengan hutan dan tanaman aneka warna, bukit di gurun pasir, hanyalah hamparan pasir dengan lekukan2 halus, tak ada apa pun sejauh mata memandang, dan hanya ada satu warna.  Salah satu tempat yg sering saya kunjungi ialah pebukitan pasir di daerah Liwa, Abu Dhabi, bagian dari salah satu gurun pasir terbesar di dunia, empty quarter desert, benar2 hamparan pasir yg kosong melompong tak ada apapun sejauh mata memandang yang ada hanya hamparan pasir, bagai samudra luas pasir, tak ada pohon, tak ada kehidupan , tak ada sisa peradaban sejak jaman dulu.

Berdiri di puncak bukit pasir, kita bisa memandang luas sejauh mata memandang sampai ke batas cakrawala di kaki langit. Saya sering termenung saat melihat batas cakrawala tersebut, sejauh dan seluas apa pun gurun pasir ini, tetap ada tepi nya, setidaknya tepi cakrawala kaki langit.

Merenungkan nya dengan perbandingan jalan kehidupan ini, saya jadi menyadari  bahwa jalan kehidupan pun ada ujung nya, ada batas nya, itulah kematian. Sejauh apa pun manusia menjalani hidup ini , suatu saat kelak akan sampai pula pada gerbang kematian tersebut. Yang paling utama, ialah bagaimana kita bisa menempuh jalan masa depan tersebut dengan selamat, membawa bekal kebaikan, sehingga ujung kematian pun bisa kita temui dalam kebaikan pula. Sebagai orang beragama kita semua disadarkan, bahwa kematian, adalah gerbang menuju alam kehidupan selanjutnya, alam akhirat. Bagaimana nasib manusia di akhirat kelak, tergantung dari amal perbuatan nya dalam perjalanan hidup selama di dunia ini.

Kalau diandaikan perjalanan umur manusia, adalah bagaikan perjalanan mendaki gunung, saat seorang manusia berada dalam jalur usia 40 tahunan, ia bagaikan sedang berada di tengah perjalanan kehidupan, setengah jalan telah berlalu dan tersisa setengah jalan lagi yang perlu ditempuh. Pada saat itulah ia perlu menengok ke belakang, seperti apa perjalanan hidup yg telah ditempuhnya sejak masa kecil sampai saat ini, dan memandang jauh ke depan, apa yg akan dilakukan nya , apa yg disiapkannya dalam mengisi sisa kehidupan yg tinggal setengah jalan ini, sampai ke gerbang kematian.

Seorang manusia di usia 40-an, biasanya senang mengenang masa lalu nya, bercerita masa muda nya, namun tak nyaman, seperti menghindar untuk melihat ke depan. Ia ingin tetap berada di puncak kehidupan, menikmati hidup ini, kalau bisa jadi muda selamanya, seperti istilah “forever young”. Tanda2 penurunan fungsi fisik, seperti uban yg mulai tumbuh, fisik yg melemah, kulit keriput, sebenarnya adalah pengingat bagi manusia, bahwa jalan kehidupan mulai menuju ke ujungnya, kalau analogi pendaki gunung, setelah sampai ke puncak gunung, selanjutnya adalah jalan menurun. Secara naluri manusia berusaha menghindari tanda2 penuaan tsb, ia ingin tampak muda selalu, kalau bisa hidup di dunia ini seribu tahun lagi, itulah orang yang cinta dunia, takut mati.

Orang yg cinta dunia, takut mati, ingin menikmati kehidupan di dunia ini sepuasnya dan tak mau memikirkan tentang masa tuanya. Cerita perenungan di gunung mengenai umur manusia seperti cerita saya diatas bagi mereka, adalah perbuatan yang tak berguna, “ngapain sih, merenung segala? “, enjoy , nikmati saja hidup ini apa adanya” , begitu lah biasa orang katakan. Saat berulang tahun, anak2, remaja senang sekali menyebutkan berapa usianya kini, tapi orang  yang berusia di atas 40 tahun, cenderung enggan untuk menjawab, saat ditanya berapa umur nya ?, ia ingin dianggap tetap muda. Orang merayakan pesta ulang tahun, namun orang2 tak sadar, itu tanda usia mereka berkurang terus, makin dekat menuju kematian. Orang2 tak mau menyadarinya, mereka baru sadar di masa tua, saat kematian menjelang, tapi itu telah terlambat.

Orang yg terbiasa hidup di keramaian kota besar, tiap hari terjebak dalam kemacetan di jalan, setiap hari pandangan nya terbatas pada tembok gedung2 tinggi, tiap hari dikepung dengan permasalahan kota, hiburan nya hanyalah dalam impian dalam kotak kaca televisi atau internet, jarang bepergian menyegarkan diri ke alam terbuka di luar kota, maka wawasan pun akan hanya terbatas pada pandangan yang sempit. Mereka terjebak dalam hedonism, mencari uang untuk bisa mendapat kenikmatan hidup ini. Tak merasa perlu untuk memahami hakikat kehidupan ini.

Orang2 spt itu, kalau ada permasalahan, beban hidup yang berat, pikiran pun serasa sempit, kalut, masa depan pun serasa gelap. Untuk menggambarkan betapa putus asanya orang seperti itu, saya jadi teringat dg istilah “ Lavender Madezu”, tulisan di gerobak sampah, seorang pemulung sampah yg saya lihat di Bandung dulu. Saya tanya teman, apa sih artinya tulisan tsb, ia bilang itu adalah singkatan dari     “ Lelaki penuh derita, masa depan suram” , sungguh ungkapan keputus-asa an yang menyedihkan sekali.

Kembali ke cerita perjalanan di kelok 44 tadi, saat sampai di kelokan terakhir, jalanan mulai lurus, sampai menuju ke kota Matur terus ke kota Bukittinggi. Kalau setiap kelokan jalan adalah sebanding dengan 1 tahun umur manusia, setelah 44 thn, ia bagai terbebas dari berbagai masalah lika liku kehidupan. Namun tak seperti itu dalam realita kehidupan ini, sampai di akhir hayat pun, manusia akan selalu dirundung masalah, karena memang demikianlah kehidupan, walau mungkin di masa tua, permasalahan hidup tak terasa begitu seberat permasalahan di masa mudanya dulu.

Manusia yang bijak, bisa belajar dari kehidupan ini, ia akan belajar dari perjalanan di masa lalunya dan bisa menempuh perjalanan yang lebih baik lagi di masa depan nya. Kalau diandaikan masa usia 40-an adalah pertengahan jalan hidup, seorang manusia yang berada di kurun usia 40 tahunan sebenarnya berada di pertengahan jalan hidup, ia perlu merenungi masa lalunya dan memandang masa depan nya. belajar dari masa lalu untuk kebaikan masa depan nya.

Note :

Alhamdulillah dari dulu saya telah terbiasa bepergian ke alam terbuka, banyak perenungan yg bisa diraih. Saya lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, di tengah alam pegunungan yang indah, kemudian besar di dataran tinggi Priangan yg indah pula. Saat di Bandung dulu, saya sering melakukan perjalanan menjelajah pegunungan seputaran Bandung. Dalam pekerjaan pun saya sering bepergian ke berbagai daerah dataran tinggi, terakhir saya bekerja di Pangalengan, dataran tinggi indah di lereng gunung Malabar, Bandung selatan.

Saat duduk merenung di atas bukit pasir di gurun pasir, Empty quarter desert, Liwa, Abu Dhabi ini, tiba2 pikiran jauh melayang ke masa lalu, di tempat yang jauh di seberang samudra sana,  terkenang lagi dengan perjalanan di masa kecil dulu, saat menempuh jalan berliku kelok 44, di daerah danau Maninjau, Sumatera Barat. Alam terkembang jadi guru

link lagu ; kelok 44 : <http://www.youtube.com/watch?v=60bc4J624TM&gt;

Picture by Erison J Kambari & Capung aerial fotography

 

12 comments on “Jalan kehidupan berliku, kelok 44

  1. Syam
    21/06/2013

    ‘Ndra, thanks for posting this article. Your story is truly inspiring people who is till now not knowing what life is for.
    I learn from the story you have shared and hope that we can always be the better person in the future. Reflecting our life in the past is not only the lesson for us but also the mirror for the future.

    Once again thanks. Have a good day and life for everyone.

    Syam from jakarta.

  2. Rijadi
    21/06/2013

    Selamat bernostalgia , so sweet

    perjalanan hidup mesti dikenang , untuk menata kehidupan masa depan dan selanjutnya yang lebih baik , baik kualitas iman dan amal…..amin….

    Rijadi Tias,
    Jakarta

  3. Sati
    21/06/2013

    Hendra

    Ambo nan lah agak dakek ka usia kapalo 8 bisa marasoan isi tulisan nan Hendra posting tu.
    Kini ambo lah sakian jauah lo manurun liak, bisa mamuta pilem sejarah iduik dari era akhir panjajahan bulando dulu.
    Saat ko ambo lah tanang mancaliak hasia jariah payah mandaki saisuak. Saat ko pun ambo sdg manikmati hasia tu.

    Alhamdulillah.

    Mak Sati
    Galuang, Sungai Pua, L, 76
    Sumatera Barat

  4. Santri
    21/06/2013

    Sangat inspiratif. Orang hebat tumbuh dengan penuh perjuangan.

    Dengan penuh perjuangan kita akan sangat menghargai setiap orang yg hadir dalam perjalanan menempuh hidup ini dan pencapaian yg kita dapati pasti akan sangat kita syukuri.

    Terima kasih sharingnya Mas Hendra.

    Santri, TL ’91.

  5. Yusuf
    21/06/2013

    Jalur jalan kelok amplek puluah ampek saya suka pemandangan nya
    apalagi menginap di Hotel Nuansa Maninjau syahdu dan dingin sekali

    Yusuf
    Jakarta

  6. Suryadi
    21/06/2013

    Bagaikan kata pepatah orang2 tua di ranah minang dulu :
    Adat orang muda menanggung rindu, adat orang tua menahan ragam

    Salam,
    Suryadi
    Leiden, Netherland

  7. Boestami
    27/09/2013

    mantabb ceritanya.

    • hdmessa
      27/09/2013

      terima kasih Boes,
      syukur bermanfaat

      salam

  8. ismedpdg
    20/09/2014

    Reblogged this on ismedpdg's Blog and commented:
    Jalanan yg berliku memberikan tantangan yg berat, namun hanya dari jalanan berliku dan mendaki seperti itulah akan dihasilkan pengemudi yang handal dan ahli, dibanding pengemudi yg terbiasa melalui jalanan lurus dan datar, seperti jalanan di negeri gurun pasir. Analoginya, orang yang terbiasa menghadapi berbagai permasalahan kehidupan, akan lebih tegar & kuat menghadapi kehidupan ini, dibanding orang yang terbiasa hidup enak sedikit tantangan.

    • hdmessa
      20/09/2014

      terima kasih Ismed,
      komentar nya

      salam

  9. muhamadfahruroji
    07/10/2015

    Terima kasih atas cerita perenungan dari kelok ampek-ampek Pak Hdmessa, mengingatkan ketika saya bersusah payah mengerjakan proyek di PLTA Maninjau. Menatap biru kehijauannya Maninjau, dilingkar gunung-gemunung, melintas kelok 44 merupakan anugrah yang sangat besar bagi saya yg sudah diberi kesempatan untuk berkunjung ke tanah Minang.

    Salam,
    Fahruroji – TF ITB, baru lulus kemarin

    • hdmessa
      08/10/2015

      sama2, terima kasih kunjungan dan komentar nya Fahruroji

      salam

Leave a comment

Information

This entry was posted on 20/06/2013 by in Contemplation.